Suaranya lembut. Lembut sekali. Suara yang selalu Nang cari-cari setiap hari saat mereka masih bisa bertemu—dalam keadaan hidup.
"Walaupun kangen, tunggu sampai waktunya tepat. Oke?"
Pandangan Nang menggelap sepenuhnya.
"Dadah, Nang."
—tamat.
Suaranya lembut. Lembut sekali. Suara yang selalu Nang cari-cari setiap hari saat mereka masih bisa bertemu—dalam keadaan hidup.
"Walaupun kangen, tunggu sampai waktunya tepat. Oke?"
Pandangan Nang menggelap sepenuhnya.
"Dadah, Nang."
—tamat.
Nang bisa mendengar jeritan ibunya, dan suara berisik orang-orang yang tidak ia kenal. Namun, ada satu. Satu suara yang ia kenal baik.
"Nang."
Sebelum penglihatannya direnggut, Nang melirik ke sudut ruangan.
Nang bisa mendengar jeritan ibunya, dan suara berisik orang-orang yang tidak ia kenal. Namun, ada satu. Satu suara yang ia kenal baik.
"Nang."
Sebelum penglihatannya direnggut, Nang melirik ke sudut ruangan.
Padahal, Jjyun berjanji akan kembali. Kak Jjyun sudah janji, kalau mereka akan bertemu lagi, bermain bersama lagi.
Jjyun memang kembali, tapi tidak dalam keadaan hidup. Ia tidak menepati janjinya untuk bermain bersama Nang lagi.
"Bohong—"
Nang sulit bernapas.
Padahal, Jjyun berjanji akan kembali. Kak Jjyun sudah janji, kalau mereka akan bertemu lagi, bermain bersama lagi.
Jjyun memang kembali, tapi tidak dalam keadaan hidup. Ia tidak menepati janjinya untuk bermain bersama Nang lagi.
"Bohong—"
Nang sulit bernapas.
"Kak Jjyun—" Suaranya tercekat.
Tubuh Jjyun tampak kabur di balik tetesan air mata yang mengalir tanpa bisa ia kendalikan.
"Kenapa Kak Jjyun—"
"Kak Jjyun—" Suaranya tercekat.
Tubuh Jjyun tampak kabur di balik tetesan air mata yang mengalir tanpa bisa ia kendalikan.
"Kenapa Kak Jjyun—"
Tanpa sadar, tangan Nang bergerak untuk menyentuh wajah Jjyun. Keras dan dingin. Rasanya seperti sedang memegang patung wax yang dibiarkan dalam lemari pendingin.
Air matanya mengalir.
"Bu, Kak Jjyun—"
Tanpa sadar, tangan Nang bergerak untuk menyentuh wajah Jjyun. Keras dan dingin. Rasanya seperti sedang memegang patung wax yang dibiarkan dalam lemari pendingin.
Air matanya mengalir.
"Bu, Kak Jjyun—"
"Bu—"
Ibunya tidak membalas, ia menarik tangan Nang untuk mendekati sebuah peti kayu berwarna putih di tengah ruang tamu tersebut.
"Nang, pamitan dulu, yuk, sama Jjyun."
Nang bisa melihatnya.
"Bu—"
Ibunya tidak membalas, ia menarik tangan Nang untuk mendekati sebuah peti kayu berwarna putih di tengah ruang tamu tersebut.
"Nang, pamitan dulu, yuk, sama Jjyun."
Nang bisa melihatnya.
"Karena itu kita mau ke sana. Ketemu Jjyun. Udah sarapannya?"
Nang menunjukkan piring yang sudah ia cuci bersih, lalu diletakkan di rak piring.
"Yuk."
Selama Nang mengekor di belakang, ia hanya terdiam. Tumben. Nang sendiri merasa ganjil.
"Karena itu kita mau ke sana. Ketemu Jjyun. Udah sarapannya?"
Nang menunjukkan piring yang sudah ia cuci bersih, lalu diletakkan di rak piring.
"Yuk."
Selama Nang mengekor di belakang, ia hanya terdiam. Tumben. Nang sendiri merasa ganjil.
Nang tidak membalas. Ia melakukan semua yang diperintahkan ibunya. Mandi, berpakaian rapi, lalu sarapan sedikit untuk mengisi perutnya yang kosong.
"Kenapa Kak Jjyun gak bilang—?"
Nang tidak membalas. Ia melakukan semua yang diperintahkan ibunya. Mandi, berpakaian rapi, lalu sarapan sedikit untuk mengisi perutnya yang kosong.
"Kenapa Kak Jjyun gak bilang—?"
"Kenapa harus pamitan?"
Ibunya tidak mengatakan apa-apa, hanya tersenyum. "Mandi dulu sana," suruhnya, sambil menarik Nang untuk bangun dari kasur.
"Bu, kenapa harus pamitan sama Kak Jjyun?"
"Soalnya Jjyun mau pergi."
"Loh, kapan Kak Jjyun balik?"
"Kenapa harus pamitan?"
Ibunya tidak mengatakan apa-apa, hanya tersenyum. "Mandi dulu sana," suruhnya, sambil menarik Nang untuk bangun dari kasur.
"Bu, kenapa harus pamitan sama Kak Jjyun?"
"Soalnya Jjyun mau pergi."
"Loh, kapan Kak Jjyun balik?"
Tiba-tiba ia merasakan elusan lembut di kepala. "Ibu sengaja gak bangunkan kamu kemarin. Sekarang lapar, gak?"
Nang menggeleng. Ia merasa baik-baik saja saat ini meski cuma makan saat sarapan kemarin.
Ibunya tersenyum, lalu memeluk Nang.
Tiba-tiba ia merasakan elusan lembut di kepala. "Ibu sengaja gak bangunkan kamu kemarin. Sekarang lapar, gak?"
Nang menggeleng. Ia merasa baik-baik saja saat ini meski cuma makan saat sarapan kemarin.
Ibunya tersenyum, lalu memeluk Nang.
Apakah Nang kelelahan? Padahal kegiatannya kemarin hanya di sekolah 3 jam, lalu pulang.
Hal pertama yang Nang lihat setelah mendapat kesadaran kembali adalah sang Ibu yang membangunkannya.
"Nang."
Apakah Nang kelelahan? Padahal kegiatannya kemarin hanya di sekolah 3 jam, lalu pulang.
Hal pertama yang Nang lihat setelah mendapat kesadaran kembali adalah sang Ibu yang membangunkannya.
"Nang."
Senyuman terpaksa muncul di wajah perempuan yang semakin erat menggenggam tangan Nang.
"Besok pagi, akan diadakan ibadah penghiburan dan pemakaman. Nak Nang ikut, ya. Pamitan sama Jjyun untuk terakhir kalinya."
Nang tidak ingat apa yang terjadi setelahnya.
Senyuman terpaksa muncul di wajah perempuan yang semakin erat menggenggam tangan Nang.
"Besok pagi, akan diadakan ibadah penghiburan dan pemakaman. Nak Nang ikut, ya. Pamitan sama Jjyun untuk terakhir kalinya."
Nang tidak ingat apa yang terjadi setelahnya.
Tangan ibunya Jjyun bergerak untuk menggenggam Nang, entah untuk menguatkan siapa.
"Kemarin malam—"
Ibunya Jjyun menahan napas tanpa sadar. Suaranya bergetar meski ditahan.
Nang sepertinya mengerti ke mana alurnya, tapi ia menolak pikiran itu.
Tangan ibunya Jjyun bergerak untuk menggenggam Nang, entah untuk menguatkan siapa.
"Kemarin malam—"
Ibunya Jjyun menahan napas tanpa sadar. Suaranya bergetar meski ditahan.
Nang sepertinya mengerti ke mana alurnya, tapi ia menolak pikiran itu.
Nang tidak punya pilihan lain selain menurut. Jadi, ia duduk di sebelah ibunya Jjyun dan menyiapkan kedua telinga untuk mendengarkan apa pun itu.
Nang tidak punya pilihan lain selain menurut. Jadi, ia duduk di sebelah ibunya Jjyun dan menyiapkan kedua telinga untuk mendengarkan apa pun itu.
"Oh, iya, Tan. Kak Jjyun gak ikut ke sini?" tanyanya.
Kedua perempuan paruh baya itu tampak terkejut, apalagi ibunya Jjyun.
"Nang, gak sopan—"
"Gak apa-apa, Bu. Nang juga berhak tau."
Berhak tahu tentang apa?
"Oh, iya, Tan. Kak Jjyun gak ikut ke sini?" tanyanya.
Kedua perempuan paruh baya itu tampak terkejut, apalagi ibunya Jjyun.
"Nang, gak sopan—"
"Gak apa-apa, Bu. Nang juga berhak tau."
Berhak tahu tentang apa?
Ibu Jjyun tersenyum tipis. "Lama tidak bertemu, Nang sudah besar sekarang. Semakin sopan juga."
Nang tertawa kikuk karena tiba-tiba dipuji. "Nang ganti baju dulu," pamitnya undur diri.
Nang melangkah pergi, tapi hatinya tidak tenang.
"Kenapa ibunya Kak Jjyun nangis, ya?"
Ibu Jjyun tersenyum tipis. "Lama tidak bertemu, Nang sudah besar sekarang. Semakin sopan juga."
Nang tertawa kikuk karena tiba-tiba dipuji. "Nang ganti baju dulu," pamitnya undur diri.
Nang melangkah pergi, tapi hatinya tidak tenang.
"Kenapa ibunya Kak Jjyun nangis, ya?"
"Shalom, Bu." Nang mengulurkan tangan, niat menyalami ibunya. "Ada rapat guru, jadinya pulang cepet."
Sudut mata Nang menangkap orang lain di sana, buat ia terkejut karena tidak sadar dari awal.
"Shalom, Bu." Nang mengulurkan tangan, niat menyalami ibunya. "Ada rapat guru, jadinya pulang cepet."
Sudut mata Nang menangkap orang lain di sana, buat ia terkejut karena tidak sadar dari awal.
"Apa bakal hujan?" bisik Nang. "Makan mi kuah terus tidur siang pasti enak banget, tuh."
Nang lanjut mengayuh sampai rumah dengan cat oren muda muncul dalam pandangan. Ia sampirkan sepeda di halaman, lalu masuk ke dalam rumah.
"Apa bakal hujan?" bisik Nang. "Makan mi kuah terus tidur siang pasti enak banget, tuh."
Nang lanjut mengayuh sampai rumah dengan cat oren muda muncul dalam pandangan. Ia sampirkan sepeda di halaman, lalu masuk ke dalam rumah.
Meski Nang yang selalu mengatakan "gas!" pada tiap ajakannya kini terasa ganjil, Syeong tidak mengatakan apa pun. Ia hanya mengangguk, lalu bergegas keluar kelas.
Nang segera merapikan tasnya, lalu berlari ke parkiran. Ia menaiki sepeda, lalu mengayuh pergi.
Meski Nang yang selalu mengatakan "gas!" pada tiap ajakannya kini terasa ganjil, Syeong tidak mengatakan apa pun. Ia hanya mengangguk, lalu bergegas keluar kelas.
Nang segera merapikan tasnya, lalu berlari ke parkiran. Ia menaiki sepeda, lalu mengayuh pergi.